Penulis : Andika
Gejolak yang melanda Indonesia pada 2025, ditandai dengan demonstrasi jalanan, krisis daya beli, hingga konflik politik di Senayan, bukanlah badai sesaat.
Ia adalah sinyal bahwa republik ini sedang memasuki fase transisi besar, ketika fondasi lama mulai rapuh sementara kerangka baru belum terbentuk. Untuk membaca situasi ini, kita bisa meminjam empat gagasan politik terbaru dari dunia akademik internasional.
Pertama, Amitav Acharya menolak gagasan bahwa dunia hanya stabil jika ada satu kekuatan hegemon. Dunia hari ini, katanya, adalah multiplex world order (berlapis), multipolar, penuh interaksi lintas peradaban. Indonesia jelas sedang diuji di sini.
Tarik-menarik pengaruh antara AS, Tiongkok, dan kekuatan regional membuat politik luar negeri kita tidak bisa lagi sekadar “bebas aktif” sebagai jargon, tapi harus benar-benar luwes agar tidak terseret dalam orbit salah satu blok.
Kedua, Gautam Bhatia mengingatkan bahwa konstitusi bukan kitab suci yang netral, melainkan arena negosiasi kekuasaan. Jika kita melihat perdebatan soal amendemen, pemilu, atau bahkan isu sentralisasi Jakarta terhadap daerah, itu adalah cermin bahwa konstitusi kita sedang diperebutkan. Krisis kepercayaan rakyat terhadap elite, sebenarnya, adalah krisis terhadap bagaimana aturan dasar itu dimainkan.
Ketiga, adalah Reiter mengajukan teori flexible signaling: negara tidak harus mengikat diri pada komitmen keras untuk terlihat kredibel. Justru fleksibilitas sering kali menyelamatkan sebuah negara dari perang yang salah.